(Corporate Social
Responsibility ) :
Bentuk
kepedulian perusahaan terhadap lingkungan eksternal perusahaan melalui berbagai
kegiatan yg dilakukan dlm rangka penjagaan lingkungan, norma masyarakat,
partisipasi pembangunan, serta berbagai bentuk tanggung jawab sosial lainnya
Strategi Pengelolaan
TangJawab Sosial Perusuhaan
lStrategi Reaktif
Kegiatan
bisnis yg melakukan strategi reaktif dlm tangjawab sosial cenderung menolak
atau menghindarkan diri dari tangjawab sosial
lStrategi Defensif
Strategi
defensif dlm tangjawab sosial yg dilakukan oleh pershn terkait dg penggunaan
pendekatan legal atau jalur hukum utk menghindarkan diri atau menolak tanggung
jawab sosial .
lStrategi Akomodatif
Strategi
Akomidatif merupakan tanggung jawab sosial yg di jalankan perusahaan
dikarenakan adanya tuntutan dari masyarakat & lingkungan sekitar akan hal
tersebut
lStrategi Proaktif
Perusahaan
memandang bahwa tangjawab sosial adalah bagian dari tangjawab utk memuaskan
stakeholders. Jika stakeholders terpuas kan, maka citra positif
terhadap pershn akan terbangun.
Manfaat Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
A. Manfaat bagi Perusahaan
Citra
Positif Perusahaan di mata masyarakat & pemerintah
B. Manfaat bagi Masyarakat
Selain
kepentingan masyarakat terakomodasi, hubungan masyarakat dg perusahaan akan
lebih erat dlm situasi win-win solution.
C. Manfaat bagi Pemerintah
Memiliki
partner dlm menjalankan misi sosial & pemerintah dlm hal tanggung jawab
sosial.
Artikel Umum
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Mewujudkan
Kesejahteraan Ekonomi Rakyat
Oleh: Heka Hertanto (Direktur Eksekutif Artha
Graha Peduli dan Direktur PT Sumber Alam Sutera - A Member of Artha Graha
Network)
Dalam
dekade 1990-an hingga awal 2000-an isu mengenai penerapan “Corporate Social
Responsibilty/CSR” atau “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan” telah berkembang
menjadi diskursus yang penting antara pemerintah, perusahaan-perusahaan besar
dan masyarakat sipil. Perkembangan diskursus tersebut dilatarbelakangi oleh meningkatnya
tekanan terhadap perusahaan-perusahaan multinasional di Amerika Serikat (AS)
dan negara-negara Eropa.
Tekanan yang berasal dari
masyarakat dan pemerintah mendesak agar terjadi keseimbangan antara orientasi
bisnis dengan kepedulian atas kondisi sosial dan lingkungan. Tentu saja tekanan
yang muncul sangat berkaitan dengan keberagaman kepentingan yang
melatarbelakanginya. Tetapi terdapat satu kesamaan mendasar dari
kepentingan-kepentingan tersebut, yaitu adanya pertanggungjawaban perusahaan
atas segala aktivitas bisnisnya terhadap masyarakat dan lingkungan.
Diskusus yang berkembang
akhirnya mengerucut pada tiga kelompok pemikiran yang masing-masing kelompok
mendasarkan pemikirannya pada pengalaman dan praktik-praktik CSR yang
berlangsung selama ini. Tiga kelompok pemikiran tersebut adalah, pertama,
kelompok Neo-liberal yang memfokuskan pandangannya tentang CSR sebagai
inisiatif melaksanakan CSR yang datang dari perusahaan sendiri berdasarkan pada
kondisi risiko bisnis dan penghargaan publik terhadap kegiatan CSR yang telah
dilaksanakan.
Kelompok kedua yang
disebut dengan kelompok State Led memusatkan pemikirannya pada peranan negara
dan pemerintah di tingkat nasional maupun internasional dalam menjalankan
program-program CSR melalui penerapan regulasi-regulasi dan kerjasama baik
unilateral maupun multilateral. Sedangkan kelompok ketiga yang disebut dengan
kelompok Jalur Ketiga memfokuskan pemikirannya pada peranan
organisasi-organisasi nirlaba maupun berorientasi pada profit dalam
melaksanakan program-program CSR.
Pemikiran dari tiga
kelompok tersebut masing-masing mengandung kelemahannya sendiri-sendiri,
terutama bila dikaitkan dengan proses pembangunan secara luas. Pemikiran
kelompok Neo-liberal misalnya, dinilai gagal untuk menyelesaikan masalah misalokasi
sumber-sumber daya produksi yang disebabkan oleh pelaksanaan program-program
CSR. Sedangkan pemikiran kelompok State Led dinilai gagal dalam mendorong
munculnya dukungan politik dari pemerintah maupun parlemen dibalik keterlibatan
atau peran pemerintah tersebut. Sedangkan pemikiran kelompok Jalur Ketiga
dipandang gagal dalam mendorong berkembangnya inisiatif pribadi untuk terlibat
secara langsung dalam pelaksanaan program-program CSR.
Di Indonesia sendiri,
tiga kelompok pemikiran tersebut masing-masing sempat dan telah berkembang
dengan variasinya sendiri-sendiri. Pada masa pemerintahan Orde Baru misalnya,
kelompok pemikiran State Led sempat mencuat dan berkembang. Pemerintahan ketika
itu, sempat mengeluarkan Inpres yang mengharuskan setiap badan usaha milik
negara (BUMN) untuk menyisihkan 2% dari laba usahanya untuk dialokasikan dalam
program-program CSR. Program CSR di lingkungan BUMN tersebut dikenal dengan
berbagai istilah, mulai program kemitraan, bina mitra lingkungan, dan PKBL.
Peranan pemerintah rezim
Orde Baru dalam mendorong implementasi CSR juga menyentuh sektor swasta,
terutama kelompok usaha konglomerasi yang mendominasi aktivitas bisnis di tanah
air. Beberapa kali kelompok-kelompok usaha besar dikumpulkan dan dihimbau untuk
menyisihkan sebagian keuntungannya atau menyediakan anggaran khusus untuk
program-program CSR. Dominasi pemikiran State Led semakin kukuh dengan
disahkannya Undang-undang Perseroan Terbatas tahun 2007 lalu, di mana pada
pasal 74 mengharuskan perusahaan—khususnya yang bergerak di bidang
pertambangan-- menerapkan CSR serta menyediakan anggaran khusus untuk
pembiayaan program-program CSR.
DEFINISI DAN MANFAAT CSR :
Dalam 38 tahun terakhir,
telah banyak perusahaan multinasional di negara-negara Uni Eropa (UE) yang
menyadari bahwa CSR merupakan petunjuk yang sangat rasional dalam melakukan
aktivitas bisnis. Sebagai contoh, dalam laporan tahunannya Siemens AG secara
khusus menegaskan komitmen globalnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial di
seluruh wilayah opersinya. Pada tahun 2001, di Eropa satu dolar dari setiap
delapan dolar dana investasi masyarakat profesional yang ditempatkan pada
perusahaan dana pensiun, reksadana, dan yayasan-yayasan telah diinvestasikan
pada lembaga-lembaga penyelenggara CSR. Angka perbandingan ini telah jauh lebih
baik dibandingkan kondisi pada tahun 1995, di mana investasi sosial ini baru
terjadi pada satu dolar dari setiap 10 dolar investasi masyarakat profesional.
Di sisi lain, pemerintah
negara-negara Eropa baik secara sendiri-sendiri maupun secara multilateral
telah mengembangkan berbagai kebijakan yang luas untuk mengatur serta mendorong
penerapan CSR. Dan sebagai hasilnya, saat ini pemerintahan maupun para
eksekutif perusahaan di negara-negara Eropa telah melihat manfaatnya terhadap
efektivitas pengelolaan perusahaan.
Pengalaman di Eropa
menunjukkan bahwa melalui CSR perusahaan-perusahaan dapat lebih efektif
mengelola dampak sosial dan lingkungan terhadap masyarakat lokal dan lingkungan
alam di mana perusahaan itu beroperasi, maupun masyarakat secara keseluruhan.
Selain itu, juga berkembang kenyataan bahwa masyarakat akan memberikan
penghargaan atas kinerja perusahaan dalam mewujudkan kepedulian dan tanggung
jawabnya terhadap lingkungan sosial dan lingkungan alam.
Dari berbagai pengalaman
yang berkembang selama ini, praktik-praktik CSR umumnya berdasarkan pada
nilai-nilai etis dan penghargaan perusahaan terhadap keberadaan serta peranan
seluruh tenaga kerja, masyarakat, lingkungan sosial maupun lingkungan alam.
Karena itu, seringkali CSR dapat dijelaskan sebagai, “Pengambilan keputusan bisnis yang dikaitkan secara langsung dengan
nilai-nilai etis, kepatuhan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan,
serta penghargaan atas keberadaan dan peranan tenaga kerja, masyarakat, dan
lingkungan.”
Mengacu pada praktik
serta pengalaman penerapan CSR, definisi lain mengenai CSR yang digagas oleh
Holmes dan Watts cukup representatif untuk menjelaskan maksud CSR sebagai
suatu, “Komitmen perusahaan yang
berkelanjutan untuk selalu bertindak etis dan memberikan kontribusi terhadap
pembangunan ekonomi sembari meningkatkan kualitas hidup para karyawan dan
keluarganya, komunitas lokal maupun masyarakat luas.”
Berdasarkan dua definisi
tersebut, maka pada dasarnya tujuan utama suatu perusahaan --yang selama ini
diyakini—semata-mata untuk meningkatkan nilai keuntungan pemegang saham tidak
lagi sepenuhnya dapat dibenarkan. Sebab tujuan utama tersebut dapat berakibat
pada pengabaian eksistensi para pemangku kepentingan (stakeholders) lain terutama karyawan, masyarakat lokal, bangsa dan
negara, kepentingan lingkungan, maupun generasi selanjutnya.
Konsep CSR bertujuan
untuk menjelaskan bagian tanggung jawab perusahaan dalam mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan, sehingga konsep pembangunan berkelanjutan menjadi dasar
pijakannya. Konsep ini menegaskan betapa pentingnya peranan CSR sebagai
perpanjangan tangan perusahaan untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan
pada suatu negara. Dengan sendirinya agar keberlangsungan pembangunan dapat
terjaga maka desain program-program CSR juga harus bersifat berkelanjutan,
tidak parsial. Program CSR yang berkelanjutan jelas membutuhkan ketegasan
komitmen dari perusahaan serta seluruh stakeholder
untuk mengawal perjalanannya.
Karena itulah Bank Dunia
menyebutkan, CSR sebagai media atau sarana untuk mewujudkan pembangunan
ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat lokal, penanggulangan bencana
alam, maupun pelestarian lingkungan yang dapat dilakukan bersama-sama
pemerintah. Dengan demikian, pada dasarnya setiap perusahaan memiliki kewajiban
sosial yang luas dan selalu melekat pada setiap aktivitas bisnisnya.
Tanggung jawab sosial
tersebut tidak lepas dari keberadaan perusahaan yang tidak akan pernah dapat
melepaskan diri dari lingkungan sekitarnya, baik lingkungan sosial masyarakat
lokal maupun lingkungan alam. Rusaknya kehidupan sosial masyarakat dan
lingkungan alam dapat dipastikan akan mengganggu bahkan menghentikan proses
produksi perusahaan, dan pada akhirnya akan menggagalkan maksimalisasi nilai
keuntungan bagi para pemegang saham perusahaan itu sendiri.
Kegagalan perusahaan
untuk menjalankan tanggung jawab sosialnya dapat pula diartikan sebagai
kegagalan dalam mencapai maksimalisasi nilai ekonomi perusahaan bagi pemegang
saham, negara, dan masyarakat luas. Manfaat ekonomi dari keberadaan suatu
perusahaan hanya akan berlangsung sesaat dan dirasakan secara sempit hanya oleh
pemegang saham, sementara akibat negatif dari keberadaan perusahaan terhadap
alam, lingkungan, masyarakat dan negara akan berlangsung sangat lama dan luas.
Dengan pemahaman
tersebut, maka pada dasarnya CSR memiliki fungsi atau peran strategis bagi
perusahaan, yaitu sebagai bagian dari manajemen risiko khususnya dalam
membentuk katup pengaman sosial (social
security). Selain itu melalui CSR perusahaan juga dapat membangun
reputasinya, seperti meningkatkan citra perusahaan maupun pemegang sahamnya,
posisi merek perusahaan, maupun bidang usaha perusahaan.
Dalam hal ini perlu
ditegaskan bahwa CSR berbeda dengan charity atau sumbangan sosial. CSR harus
dijalankan di atas suatu program dengan memerhatikan kebutuhan dan
keberlanjutan program dalam jangka panjang. Sementara sumbangan sosial lebih
bersifat sesaat dan berdampak sementara, sehingga bisa diibaratkan hanya
sebagai pelipur lara. Semangat CSR diharapkan dapat mampu membantu menciptakan
keseimbangan antara perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Pada dasarnya
tanggung jawab sosial perusahaan ini diharapkan dapat kembali menjadi budaya
bagi bangsa Indonesia khususnya, dan masyarakat dunia dalam kebersamaan mengatasi
masalah sosial dan lingkungan.
Keputusan manajemen
perusahaan untuk melaksanakan program-program CSR secara berkelanjutan, pada
dasarnya merupakan keputusan yang rasional. Sebab implementasi program-program
CSR akan menimbulkan efek lingkaran emas yang akan dinikmati oleh perusahaan
dan seluruh stakeholder-nya. Melalui
CSR, kesejahteraan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal maupun
masyarakat luas akan lebih terjamin. Kondisi ini pada gilirannya akan menjamin
kelancaran seluruh proses atau aktivitas produksi perusahaan serta pemasaran
hasil-hasil produksi perusahaan. Sedangkan terjaganya kelestarian lingkungan
dan alam selain menjamin kelancaran proses produksi juga menjamin ketersediaan
pasokan bahan baku produksi yang diambil dari alam.
Kesejahteraan masyarakat
akan mendorong peningkatan daya beli, sehingga memperkuat daya serap pasar
terhadap output perusahaan. Sedangkan kelestarian faktor-faktor produksi serta
kelancaran proses produksi yang terjaga akan meningkatkan efisiensi proses produksi.
Dua faktor tersebut akan meningkatkan potensi peningkatan laba perusahaan, dan
dengan sendirinya meningkatkan kemampuan perusahaan mengalokasikan sebagian
dari keuntungannya untuk membiayai berbagai aktivitas CSR di tahun-tahun
berikutnya.
Manfaat penerapan CSR
yang dilaksanakan dengan berlandaskan pada nilai-nilai etis telah banyak
dinikmati oleh berbagai perusahaan multinasional dari negara-negara Eropa.
Kesediaan perusahaan-perusahaan multinasional dari Eropa untuk menerapkan CSR
atas inisiatif sendiri telah membantu menciptakan deferensiasi pasar atas para
pesaing mereka dari Jepang maupun AS. Selain itu juga menunjang upaya
perusahaan dalam mengelola tenaga kerja, menjaga kesetiaan konsumen, mewujudkan
kekuatan merek, mengurangi biaya-biaya menjadi lebih rendah, menekan risiko
sosial dan bisnis, serta membangun kredibilitas usaha di mata publik maupun
investor saham.
Karena itu para eksekutif
perusahaan multinasional di Eropa semakin yakin bahwa perusahaan yang memiliki
kinerja sosial dan lingkungan yang semakin kuat akan mampu meraih kinerja yang
lebih baik dibandingkan perusahaan yang tidak memiliki kepedulian atas tanggung
jawab sosialnya. Adidas, Nestle, dan Volkswagen hanya merupakan sedikit contoh
perusahaan multinasional dari Eropa yang berhasil memanfaatkan CSR untuk
pengembangan jaringan bisnisnya.
Hal ini sejalan dengan
penelitian di Bursa Efek Jakarta terhadap emiten-emiten yang melaksanakan
program-program CSR menunjukkan, kegiatan CSR ternyata berbanding positif
terhadap kinerja perusahaan dan imbal hasil saham. Karena CSR terdiri dari
rangkaian program yang memperhatikan kepentingan seluruh stakeholder perusahaan dalam jangka panjang, dengan demikian CSR
tidak dapat dipandang sebagai beban sosial melainkan justru menjadi investasi
sosial perusahaan.
Sebab dalam jangka
panjang manfaat positif dari program CSR yang berkelanjutan akan menunjang
aktivitas bisnis perusahaan. Manfaat jangka panjang ini meningkatkan keyakinan
para investor di bursa efek atas prospek perusahaan di masa mendatang. Prospek
yang positif dengan sendirinya meningkatkan kemungkinan dan peluang naiknya
nilai investasi di bursa efek yang dilakukan saat ini.
MODAL SOSIAL MASYARAKAT DAN REGULASI:
Bila CSR benar-benar
dijalankan secara efektif maka dapat memperkuat atau meningkatkan akumulasi
modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Modal sosial,
termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong
royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan
ekonomi. Melalui beragam mekanismenya, modal sosial dapat meningkatkan rasa
tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses
demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan
dan kejahatan.
Tanggung jawab perusahaan
terhadap kepentingan publik dapat diwujudkan melalui pelaksanaan
program-program CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspek-aspek
kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi program-program CSR merupakan
sumbangan perusahaan secara tidak langsung terhadap penguatan modal sosial
secara keseluruhan. Berbeda halnya dengan modal finansial yang dapat dihitung
nilainya kuantitatif, maka modal sosial tidak dapat dihitung nilainya secara
pasti. Namun demikian, dapat ditegaskan bahwa pengeluaran biaya untuk
program-program CSR merupakan investasi perusahaan untuk memupuk modal sosial.
Dalam jangka panjang,
pemupukan modal sosial tersebut akan memberikan manfaat positif bagi perusahaan
maupun masyarakat secara umum. Harmonisasi hubungan perusahaan dengan
masyarakat akan terlihat dari keserasian kehidupan sosial di lingkungan sekitar
aktivitas perusahaan. Selain itu akan terbangun kohesifitas yang sangat kuat
antara perusahaan dengan masyarakat. Kohesifitas yang kuat akan memunculkan
kolaborasi sosial yang erat antara perusahaan dengan masyarakat. Sehingga,
masyarakat akan merasakan kepentingannya terusik apabila keberadaan perusahaan
mendapatkan gangguan atau masalah.
Pemupukan modal sosial
tersebut juga dapat membantu mempercepat perbaikan tingkat kesejahteraan
masyarakat. Harmonisasi hubungan sosial perusahaan dengan masyarakat dapat
terwujud bila perusahaan dapat secara langsung maupun tidak langsung menikmati
manfaat ekonomi dari keberadaan perusahaan. Dalam konteks ini, apabila program
CSR dapat secara riel meningkatkan kualitas modal sosial, maka dapat diartikan
pula bahwa telah terjadi perbaikan kondisi perekonomian masyarakat.
Sebagai salah satu elemen
yang dapat menjadi faktor utama pembentuk modal sosial, perusahaan dengan
program-program CSR-nya jelas tidak berdiri sendiri. Bagaimanapun, modal sosial
tidak hanya dibentuk oleh faktor tunggal atau pelaku tunggal. Harus ada
partisipasi aktif dari berbagai elemen lain yang keberadaannya mempengaruhi
pembentukan dan pemupukan modal sosial tersebut. Kolaborasi sosial dari
berbagai pihak yang terjadi secara simultan dan berkelanjutan akan memungkinkan
terbentuknya modal sosial yang solid dan lestari.
Agar peran CSR dalam
membentuk modal sosial dapat berlangsung secara efektif, maka diperlukan peran
pemerintah untuk mempengaruhi secara positif tumbuhnya kepercayaan,
kohesifitas, altruisme, gotong royong, partisipasi, jaringan, kolaborasi
sosial, dalam suatu komunitas. Modal sosial yang tumbuh dan berkembang dengan
baik akan mempercepat keberhasilan pembangunan, khususnya pembangunan sosial
dan kesejahteraan.
Pengaruh dari pemerintah
tersebut dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah maupun fasilitas atau
insentif tertentu yang dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan perannya
dalam memupuk modal sosial melalui CSR.
Dengan demikian, ketika
CSR diwajibkan dengan regulasi, maka regulasi itu menyatakan keberlakuan konsep
pembangunan berkelanjutan. Karenanya, regulasi lain yang diberlakukan terhadap
perusahaan haruslah ditimbang ulang apakah sesuai dengan konsep pembangunan
berkelanjutan atau tidak. Agar pembangunan di Indonesia dapat berjalan menuju
pembangunan yang ramah ekonomi, sosial dan lingkungan sekaligus, maka regulasi
yang berkenaan dengan pemerintah dan masyarakat sipil juga harus ditimbang
dengan konsep yang sama.
Kolaborasi dan
harmonisasi peraturan pemerintah dengan program-program CSR yang saling
mendukung dan dalam koridor konsep “Pembangungan Berkelanjutan” akan melahirkan
sinergi yang kuat bila dilaksanakan secara konsisten disertai dengan ketegasan law enforcement. Hasil dari sinergi
tersebut berupa tumbuhnya modal sosial yang semakin kuat dari hari ke hari. CSR
tidak akan memberikan arti yang optimal tanpa dukungan pemerintah secara nyata
dan peran serta aktif dari masyarakat lokal. Peran serta aktif masyarakat
notabene merupakan komponen dalam modal sosial yang sangat penting dan menjadi
kunci suksesnya pelaksanaan program-program CSR.
Dengan demikian antara
CSR dan modal sosial terdapat hubungan dua arah yang bersifat kausalitas dan
saling mempengaruhi. Sedangkan pengaruh pemerintah yang antara lain dapat
berupa peraturan/regulasi lebih bersifat sebagai katalisator yang berfungsi
untuk mempercepat proses senyawa antara CSR dan modal sosial tersebut. Dalam prosesnya,
sebenarnya juga terdapat akses pengaruh bagi perusahaan dan masyarakat dalam
penyusunan regulasi berkaitan dengan CSR. Perusahaan sebagai agen pelaksana
pembangunan berkelanjutan melalui program-program CSR dapat mempengaruhi
penyusunan regulasi secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan masyarakat
sebagai sumber modal sosial yang berkepentingan atas pelaksanaan
program-program CSR juga dapat mempengaruhi penyusunan regulasi maupun
menjalankan fungsi kontrol atas pelaksanaan regulasi tersebut.
Keterlibatan perusahaan
dan masyarakat dalam mempengaruhi penyusunan regulasi dapat dilakukan melalui
konsultasi publik. Konsultasi publik ini lebih bersifat dua arah, sehingga
memungkinkan terjadinya dialog interaktif antara perusahaan, masyarakat dan
pemerintah. Sebab konsultasi publik merupakan proses yang berbasiskan
kesetaraan pemangku kepentingan dan bersifat dua –atau bahkan multi arah--,
berbeda dengan sosialisasi yang timpang dan searah.
Sosialisasi merupakan
bentuk komunikasi yang lebih bersifat satu arah, dan dilakukan setelah regulasi
selesai dibuat dan ditetapkan berlakunya. Dalam sosialisasi pemerintah berharap
para pemangku kepentingan memahami isi regulasi dan kemudian bersedia
melaksanakan regulasi seperti yang dikehendaki pemerintah.
Sedangkan konsultasi
publik dilakukan sebelum suatu regulasi disusun apalagi ditetapkan berlakunya.
Dengan konsultasi publik, perusahaan dan masyarakat telah terlibat sejak awal
mempengaruhi penyusunan regulasi. Keterlibatan sejak awal proses ini sangat penting
karena nantinya bila regulasi telah berlaku akan berpengaruh terhadap kehidupan
dan masa depan perusahaan maupun masyarakat. Pengaruh dan keterlibatan
perusahaan serta masyarakat ini merupakan wujud atau realisasi komponen modal
sosial yaitu tanggung jawab terhadap kepentingan publik. Konsultasi publik
lebih menjamin lahirnya regulasi CSR yang realistis dan memenuhi harapan semua
pemangku kepentingan karena setiap pihak yang terlibat mempengaruhi proses
penyusunannya berada pada posisi yang setara satu sama lain. Dan pada akhirnya
program CSR yang disusun serta dilaksanakan perusahaan akan lebih terarah
secara efektif untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dengan adanya proses
saling terlibat dan mempengaruhi tersebut, maka pada dasarnya pemerintah dan
masyarakat juga bertanggung jawab terhadap berlangsungnya aktivitas CSR. Dengan
kata lain, CSR bukan semata-mata tanggung jawab perusahaan saja. Perusahaan
tidak mungkin dan tidak bisa dibiarkan begitu saja menjalankan program-program
CSR meskipun inisiatif melaksanakan CSR tersebut datang dari perusahaan. Sebab
dalam realitasnya di lapangan, implementasi program-program CSR tetap harus
melibatkan pemerintah dan masyarakat setempat. Bagaimanapun dalam menjalankan
aktivitas CSR-nya, perusahaan tetap menghadapi batas-batas kemampuan finansial
dan sumber daya ekonomi lain.
Tanggung jawab tersebut
harus ditekankan pemahamannya kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat
tidak melupakan tanggung jawab hidupnya sendiri. Pada dasarnya masyarakat tetap
bertanggung jawab atas kehidupannya masing-masing, kelestarian lingkungan dan
alam tempatnya hidup, tanggung jawab sosial dan ekonomi, serta tanggung jawab
sebagai warga negara. Di sini juga sangat perlu ditegaskan bahwa tanggung jawab
untuk mewujudkan kesejahteraan hidup masyarakat tidak dapat dibebankan atau
dipindahkan sepenuhnya kepada pundak perusahaan. Masyarakat tetap harus
bertanggung jawab untuk meraih serta mewujudkan kesejahteraan individualnya
dengan cara belajar dan berkerja keras. Sedangkan pemerintah juga tidak bisa
memindahkan tanggung jawabnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat umum
kepada perusahaan, dengan menyerahkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan
sepenuhnya kepada perusahaan.
Penekanan dan penegasan
ini perlu dipahami oleh masyarakat lokal dan pemerintah setempat agar CSR tidak
berdampak pada terjadinya degradasi moral berupa kemalasan dan hilangnya rasa
tanggung jawab hidup. Sebab CSR bukanlah aktivitas filantropi berdasar belas
kasihan. CSR sama sekali tidak bertujuan untuk mendidik dan membiasakan
masyarakat lokal hidup menjadi pemalas dengan menggantungkan hidupnya pada
bantuan dan belas kasihan dari pihak lain. Sementara mereka pada saat yang sama
tidak memiliki rasa tanggung jawab dan inisiatif sendiri untuk memperbaiki
kehidupannya.
CSR bukan pula bermaksud
mengambil alih tanggung jawab individu masyarakat terhadap pencapain taraf
hidup yang lebih baik. Melalui CSR justru diharapkan masyarakat terdidik dan
terpacu untuk dapat lebih giat bekerja dan rajin belajar untuk memperbaiki
kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Dengan demikian CSR harus menghindari efek
nina bobok yang memanjakan masyarakat dan pemerintah. Karena itu, CSR yang
berdampak pada pengambilalihan tanggung jawab masyarakat dan pemerintah, sebenarnya
merupakan tindakan pembodohan yang secara tidak langsung telah menjerumuskan
masyarakat pada jurang kebodohan dan kemalasan.
Akibat dari CSR yang
merupakan pembodohan ini adalah lemahnya modal sosial dalam masyarakat
bersangkutan. Faktor-faktor pembentuk modal sosial berupa kohesifitas, gotong
royong, partisipasi, saling percaya, kolaborasi sosial, serta tanggung jawab
atas kepentingan publik akan terkikis sedikit demi sedikit tanpa disadari oleh
masyarakat itu sendiri. Dampak negatif tersebut harus dapat dihindari, dan
karenanya penerapan CSR yang salah kaprah menjadi pembodohan juga harus
dicegah.
Harapan akhirnya adalah,
masyarakat dapat menikmati taraf hidup yang lebih baik dengan tingkat
kesejahteraan yang tinggi sebagai buah nyata dari kerja keras dan ketekunan
belajar mereka sendiri. Sementara program-program CSR yang dijalankan oleh
perusahaan lebih merupakan suplemen tambahan untuk membantu masyarakat
memperbaiki kehidupan sosial ekonomi serta menjaga kelestarian lingkungan dan
alam.(Sumber: Jurnal Elcendikia Edisi 7
Vol.III No.1 Juni 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar