Minggu, 14 Oktober 2012

ETIKA BISNIS TANGGUNG JAWAB SOSIAL TERHADAP PERUSAHAAN KECIL


(Corporate Social Responsibility ) :
             Bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan eksternal perusahaan melalui berbagai kegiatan yg dilakukan dlm rangka penjagaan lingkungan, norma masyarakat, partisipasi pembangunan, serta berbagai bentuk tanggung jawab sosial lainnya

Strategi Pengelolaan TangJawab Sosial Perusuhaan
lStrategi Reaktif
            Kegiatan bisnis yg melakukan strategi reaktif dlm tangjawab sosial cenderung menolak atau menghindarkan diri dari tangjawab sosial

lStrategi Defensif
            Strategi defensif dlm tangjawab sosial yg dilakukan oleh pershn terkait dg penggunaan pendekatan legal atau jalur hukum utk menghindarkan diri atau menolak tanggung jawab sosial .

lStrategi Akomodatif
            Strategi Akomidatif merupakan tanggung jawab sosial yg di jalankan perusahaan dikarenakan adanya tuntutan dari masyarakat & lingkungan sekitar akan hal tersebut

lStrategi Proaktif
            Perusahaan memandang bahwa tangjawab sosial adalah bagian dari tangjawab utk memuaskan stakeholders. Jika stakeholders terpuas kan, maka citra positif terhadap pershn akan terbangun.
Manfaat Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
A. Manfaat bagi Perusahaan
            Citra Positif Perusahaan di mata masyarakat & pemerintah

B. Manfaat bagi Masyarakat
            Selain kepentingan masyarakat terakomodasi, hubungan masyarakat dg perusahaan akan lebih erat dlm situasi win-win solution.

C. Manfaat bagi Pemerintah
            Memiliki partner dlm menjalankan misi sosial & pemerintah dlm hal tanggung jawab sosial.
Artikel Umum
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Mewujudkan
Kesejahteraan Ekonomi Rakyat
Oleh: Heka Hertanto (Direktur Eksekutif Artha Graha Peduli dan Direktur PT Sumber Alam Sutera - A Member of Artha Graha Network)
Dalam dekade 1990-an hingga awal 2000-an isu mengenai penerapan “Corporate Social Responsibilty/CSR” atau “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan” telah berkembang menjadi diskursus yang penting antara pemerintah, perusahaan-perusahaan besar dan masyarakat sipil. Perkembangan diskursus tersebut dilatarbelakangi oleh meningkatnya tekanan terhadap perusahaan-perusahaan multinasional di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa.
Tekanan yang berasal dari masyarakat dan pemerintah mendesak agar terjadi keseimbangan antara orientasi bisnis dengan kepedulian atas kondisi sosial dan lingkungan. Tentu saja tekanan yang muncul sangat berkaitan dengan keberagaman kepentingan yang melatarbelakanginya. Tetapi terdapat satu kesamaan mendasar dari kepentingan-kepentingan tersebut, yaitu adanya pertanggungjawaban perusahaan atas segala aktivitas bisnisnya terhadap masyarakat dan lingkungan.
Diskusus yang berkembang akhirnya mengerucut pada tiga kelompok pemikiran yang masing-masing kelompok mendasarkan pemikirannya pada pengalaman dan praktik-praktik CSR yang berlangsung selama ini. Tiga kelompok pemikiran tersebut adalah, pertama, kelompok Neo-liberal yang memfokuskan pandangannya tentang CSR sebagai inisiatif melaksanakan CSR yang datang dari perusahaan sendiri berdasarkan pada kondisi risiko bisnis dan penghargaan publik terhadap kegiatan CSR yang telah dilaksanakan.
Kelompok kedua yang disebut dengan kelompok State Led memusatkan pemikirannya pada peranan negara dan pemerintah di tingkat nasional maupun internasional dalam menjalankan program-program CSR melalui penerapan regulasi-regulasi dan kerjasama baik unilateral maupun multilateral. Sedangkan kelompok ketiga yang disebut dengan kelompok Jalur Ketiga memfokuskan pemikirannya pada peranan organisasi-organisasi nirlaba maupun berorientasi pada profit dalam melaksanakan program-program CSR.
Pemikiran dari tiga kelompok tersebut masing-masing mengandung kelemahannya sendiri-sendiri, terutama bila dikaitkan dengan proses pembangunan secara luas. Pemikiran kelompok Neo-liberal misalnya, dinilai gagal untuk menyelesaikan masalah misalokasi sumber-sumber daya produksi yang disebabkan oleh pelaksanaan program-program CSR. Sedangkan pemikiran kelompok State Led dinilai gagal dalam mendorong munculnya dukungan politik dari pemerintah maupun parlemen dibalik keterlibatan atau peran pemerintah tersebut. Sedangkan pemikiran kelompok Jalur Ketiga dipandang gagal dalam mendorong berkembangnya inisiatif pribadi untuk terlibat secara langsung dalam pelaksanaan program-program CSR.
Di Indonesia sendiri, tiga kelompok pemikiran tersebut masing-masing sempat dan telah berkembang dengan variasinya sendiri-sendiri. Pada masa pemerintahan Orde Baru misalnya, kelompok pemikiran State Led sempat mencuat dan berkembang. Pemerintahan ketika itu, sempat mengeluarkan Inpres yang mengharuskan setiap badan usaha milik negara (BUMN) untuk menyisihkan 2% dari laba usahanya untuk dialokasikan dalam program-program CSR. Program CSR di lingkungan BUMN tersebut dikenal dengan berbagai istilah, mulai program kemitraan, bina mitra lingkungan, dan PKBL.
Peranan pemerintah rezim Orde Baru dalam mendorong implementasi CSR juga menyentuh sektor swasta, terutama kelompok usaha konglomerasi yang mendominasi aktivitas bisnis di tanah air. Beberapa kali kelompok-kelompok usaha besar dikumpulkan dan dihimbau untuk menyisihkan sebagian keuntungannya atau menyediakan anggaran khusus untuk program-program CSR. Dominasi pemikiran State Led semakin kukuh dengan disahkannya Undang-undang Perseroan Terbatas tahun 2007 lalu, di mana pada pasal 74 mengharuskan perusahaan—khususnya yang bergerak di bidang pertambangan-- menerapkan CSR serta menyediakan anggaran khusus untuk pembiayaan program-program CSR.
DEFINISI DAN MANFAAT CSR :
Dalam 38 tahun terakhir, telah banyak perusahaan multinasional di negara-negara Uni Eropa (UE) yang menyadari bahwa CSR merupakan petunjuk yang sangat rasional dalam melakukan aktivitas bisnis. Sebagai contoh, dalam laporan tahunannya Siemens AG secara khusus menegaskan komitmen globalnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial di seluruh wilayah opersinya. Pada tahun 2001, di Eropa satu dolar dari setiap delapan dolar dana investasi masyarakat profesional yang ditempatkan pada perusahaan dana pensiun, reksadana, dan yayasan-yayasan telah diinvestasikan pada lembaga-lembaga penyelenggara CSR. Angka perbandingan ini telah jauh lebih baik dibandingkan kondisi pada tahun 1995, di mana investasi sosial ini baru terjadi pada satu dolar dari setiap 10 dolar investasi masyarakat profesional.
Di sisi lain, pemerintah negara-negara Eropa baik secara sendiri-sendiri maupun secara multilateral telah mengembangkan berbagai kebijakan yang luas untuk mengatur serta mendorong penerapan CSR. Dan sebagai hasilnya, saat ini pemerintahan maupun para eksekutif perusahaan di negara-negara Eropa telah melihat manfaatnya terhadap efektivitas pengelolaan perusahaan.
Pengalaman di Eropa menunjukkan bahwa melalui CSR perusahaan-perusahaan dapat lebih efektif mengelola dampak sosial dan lingkungan terhadap masyarakat lokal dan lingkungan alam di mana perusahaan itu beroperasi, maupun masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, juga berkembang kenyataan bahwa masyarakat akan memberikan penghargaan atas kinerja perusahaan dalam mewujudkan kepedulian dan tanggung jawabnya terhadap lingkungan sosial dan lingkungan alam.
Dari berbagai pengalaman yang berkembang selama ini, praktik-praktik CSR umumnya berdasarkan pada nilai-nilai etis dan penghargaan perusahaan terhadap keberadaan serta peranan seluruh tenaga kerja, masyarakat, lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Karena itu, seringkali CSR dapat dijelaskan sebagai, “Pengambilan keputusan bisnis yang dikaitkan secara langsung dengan nilai-nilai etis, kepatuhan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan, serta penghargaan atas keberadaan dan peranan tenaga kerja, masyarakat, dan lingkungan.”
Mengacu pada praktik serta pengalaman penerapan CSR, definisi lain mengenai CSR yang digagas oleh Holmes dan Watts cukup representatif untuk menjelaskan maksud CSR sebagai suatu, “Komitmen perusahaan yang berkelanjutan untuk selalu bertindak etis dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi sembari meningkatkan kualitas hidup para karyawan dan keluarganya, komunitas lokal maupun masyarakat luas.”
Berdasarkan dua definisi tersebut, maka pada dasarnya tujuan utama suatu perusahaan --yang selama ini diyakini—semata-mata untuk meningkatkan nilai keuntungan pemegang saham tidak lagi sepenuhnya dapat dibenarkan. Sebab tujuan utama tersebut dapat berakibat pada pengabaian eksistensi para pemangku kepentingan (stakeholders) lain terutama karyawan, masyarakat lokal, bangsa dan negara, kepentingan lingkungan, maupun generasi selanjutnya.
Konsep CSR bertujuan untuk menjelaskan bagian tanggung jawab perusahaan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, sehingga konsep pembangunan berkelanjutan menjadi dasar pijakannya. Konsep ini menegaskan betapa pentingnya peranan CSR sebagai perpanjangan tangan perusahaan untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan pada suatu negara. Dengan sendirinya agar keberlangsungan pembangunan dapat terjaga maka desain program-program CSR juga harus bersifat berkelanjutan, tidak parsial. Program CSR yang berkelanjutan jelas membutuhkan ketegasan komitmen dari perusahaan serta seluruh stakeholder untuk mengawal perjalanannya.
Karena itulah Bank Dunia menyebutkan, CSR sebagai media atau sarana untuk mewujudkan pembangunan ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat lokal, penanggulangan bencana alam, maupun pelestarian lingkungan yang dapat dilakukan bersama-sama pemerintah. Dengan demikian, pada dasarnya setiap perusahaan memiliki kewajiban sosial yang luas dan selalu melekat pada setiap aktivitas bisnisnya.
Tanggung jawab sosial tersebut tidak lepas dari keberadaan perusahaan yang tidak akan pernah dapat melepaskan diri dari lingkungan sekitarnya, baik lingkungan sosial masyarakat lokal maupun lingkungan alam. Rusaknya kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan alam dapat dipastikan akan mengganggu bahkan menghentikan proses produksi perusahaan, dan pada akhirnya akan menggagalkan maksimalisasi nilai keuntungan bagi para pemegang saham perusahaan itu sendiri.
Kegagalan perusahaan untuk menjalankan tanggung jawab sosialnya dapat pula diartikan sebagai kegagalan dalam mencapai maksimalisasi nilai ekonomi perusahaan bagi pemegang saham, negara, dan masyarakat luas. Manfaat ekonomi dari keberadaan suatu perusahaan hanya akan berlangsung sesaat dan dirasakan secara sempit hanya oleh pemegang saham, sementara akibat negatif dari keberadaan perusahaan terhadap alam, lingkungan, masyarakat dan negara akan berlangsung sangat lama dan luas.
Dengan pemahaman tersebut, maka pada dasarnya CSR memiliki fungsi atau peran strategis bagi perusahaan, yaitu sebagai bagian dari manajemen risiko khususnya dalam membentuk katup pengaman sosial (social security). Selain itu melalui CSR perusahaan juga dapat membangun reputasinya, seperti meningkatkan citra perusahaan maupun pemegang sahamnya, posisi merek perusahaan, maupun bidang usaha perusahaan.
Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa CSR berbeda dengan charity atau sumbangan sosial. CSR harus dijalankan di atas suatu program dengan memerhatikan kebutuhan dan keberlanjutan program dalam jangka panjang. Sementara sumbangan sosial lebih bersifat sesaat dan berdampak sementara, sehingga bisa diibaratkan hanya sebagai pelipur lara. Semangat CSR diharapkan dapat mampu membantu menciptakan keseimbangan antara perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Pada dasarnya tanggung jawab sosial perusahaan ini diharapkan dapat kembali menjadi budaya bagi bangsa Indonesia khususnya, dan masyarakat dunia dalam kebersamaan mengatasi masalah sosial dan lingkungan.
Keputusan manajemen perusahaan untuk melaksanakan program-program CSR secara berkelanjutan, pada dasarnya merupakan keputusan yang rasional. Sebab implementasi program-program CSR akan menimbulkan efek lingkaran emas yang akan dinikmati oleh perusahaan dan seluruh stakeholder-nya. Melalui CSR, kesejahteraan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal maupun masyarakat luas akan lebih terjamin. Kondisi ini pada gilirannya akan menjamin kelancaran seluruh proses atau aktivitas produksi perusahaan serta pemasaran hasil-hasil produksi perusahaan. Sedangkan terjaganya kelestarian lingkungan dan alam selain menjamin kelancaran proses produksi juga menjamin ketersediaan pasokan bahan baku produksi yang diambil dari alam.
Kesejahteraan masyarakat akan mendorong peningkatan daya beli, sehingga memperkuat daya serap pasar terhadap output perusahaan. Sedangkan kelestarian faktor-faktor produksi serta kelancaran proses produksi yang terjaga akan meningkatkan efisiensi proses produksi. Dua faktor tersebut akan meningkatkan potensi peningkatan laba perusahaan, dan dengan sendirinya meningkatkan kemampuan perusahaan mengalokasikan sebagian dari keuntungannya untuk membiayai berbagai aktivitas CSR di tahun-tahun berikutnya.
Manfaat penerapan CSR yang dilaksanakan dengan berlandaskan pada nilai-nilai etis telah banyak dinikmati oleh berbagai perusahaan multinasional dari negara-negara Eropa. Kesediaan perusahaan-perusahaan multinasional dari Eropa untuk menerapkan CSR atas inisiatif sendiri telah membantu menciptakan deferensiasi pasar atas para pesaing mereka dari Jepang maupun AS. Selain itu juga menunjang upaya perusahaan dalam mengelola tenaga kerja, menjaga kesetiaan konsumen, mewujudkan kekuatan merek, mengurangi biaya-biaya menjadi lebih rendah, menekan risiko sosial dan bisnis, serta membangun kredibilitas usaha di mata publik maupun investor saham.
Karena itu para eksekutif perusahaan multinasional di Eropa semakin yakin bahwa perusahaan yang memiliki kinerja sosial dan lingkungan yang semakin kuat akan mampu meraih kinerja yang lebih baik dibandingkan perusahaan yang tidak memiliki kepedulian atas tanggung jawab sosialnya. Adidas, Nestle, dan Volkswagen hanya merupakan sedikit contoh perusahaan multinasional dari Eropa yang berhasil memanfaatkan CSR untuk pengembangan jaringan bisnisnya.
Hal ini sejalan dengan penelitian di Bursa Efek Jakarta terhadap emiten-emiten yang melaksanakan program-program CSR menunjukkan, kegiatan CSR ternyata berbanding positif terhadap kinerja perusahaan dan imbal hasil saham. Karena CSR terdiri dari rangkaian program yang memperhatikan kepentingan seluruh stakeholder perusahaan dalam jangka panjang, dengan demikian CSR tidak dapat dipandang sebagai beban sosial melainkan justru menjadi investasi sosial perusahaan.
Sebab dalam jangka panjang manfaat positif dari program CSR yang berkelanjutan akan menunjang aktivitas bisnis perusahaan. Manfaat jangka panjang ini meningkatkan keyakinan para investor di bursa efek atas prospek perusahaan di masa mendatang. Prospek yang positif dengan sendirinya meningkatkan kemungkinan dan peluang naiknya nilai investasi di bursa efek yang dilakukan saat ini.
MODAL SOSIAL MASYARAKAT DAN REGULASI:
Bila CSR benar-benar dijalankan secara efektif maka dapat memperkuat atau meningkatkan akumulasi modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui beragam mekanismenya, modal sosial dapat meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan.
Tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan publik dapat diwujudkan melalui pelaksanaan program-program CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspek-aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi program-program CSR merupakan sumbangan perusahaan secara tidak langsung terhadap penguatan modal sosial secara keseluruhan. Berbeda halnya dengan modal finansial yang dapat dihitung nilainya kuantitatif, maka modal sosial tidak dapat dihitung nilainya secara pasti. Namun demikian, dapat ditegaskan bahwa pengeluaran biaya untuk program-program CSR merupakan investasi perusahaan untuk memupuk modal sosial.
Dalam jangka panjang, pemupukan modal sosial tersebut akan memberikan manfaat positif bagi perusahaan maupun masyarakat secara umum. Harmonisasi hubungan perusahaan dengan masyarakat akan terlihat dari keserasian kehidupan sosial di lingkungan sekitar aktivitas perusahaan. Selain itu akan terbangun kohesifitas yang sangat kuat antara perusahaan dengan masyarakat. Kohesifitas yang kuat akan memunculkan kolaborasi sosial yang erat antara perusahaan dengan masyarakat. Sehingga, masyarakat akan merasakan kepentingannya terusik apabila keberadaan perusahaan mendapatkan gangguan atau masalah.
Pemupukan modal sosial tersebut juga dapat membantu mempercepat perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat. Harmonisasi hubungan sosial perusahaan dengan masyarakat dapat terwujud bila perusahaan dapat secara langsung maupun tidak langsung menikmati manfaat ekonomi dari keberadaan perusahaan. Dalam konteks ini, apabila program CSR dapat secara riel meningkatkan kualitas modal sosial, maka dapat diartikan pula bahwa telah terjadi perbaikan kondisi perekonomian masyarakat.
Sebagai salah satu elemen yang dapat menjadi faktor utama pembentuk modal sosial, perusahaan dengan program-program CSR-nya jelas tidak berdiri sendiri. Bagaimanapun, modal sosial tidak hanya dibentuk oleh faktor tunggal atau pelaku tunggal. Harus ada partisipasi aktif dari berbagai elemen lain yang keberadaannya mempengaruhi pembentukan dan pemupukan modal sosial tersebut. Kolaborasi sosial dari berbagai pihak yang terjadi secara simultan dan berkelanjutan akan memungkinkan terbentuknya modal sosial yang solid dan lestari.
Agar peran CSR dalam membentuk modal sosial dapat berlangsung secara efektif, maka diperlukan peran pemerintah untuk mempengaruhi secara positif tumbuhnya kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, partisipasi, jaringan, kolaborasi sosial, dalam suatu komunitas. Modal sosial yang tumbuh dan berkembang dengan baik akan mempercepat keberhasilan pembangunan, khususnya pembangunan sosial dan kesejahteraan.
Pengaruh dari pemerintah tersebut dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah maupun fasilitas atau insentif tertentu yang dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan perannya dalam memupuk modal sosial melalui CSR.
Dengan demikian, ketika CSR diwajibkan dengan regulasi, maka regulasi itu menyatakan keberlakuan konsep pembangunan berkelanjutan. Karenanya, regulasi lain yang diberlakukan terhadap perusahaan haruslah ditimbang ulang apakah sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan atau tidak. Agar pembangunan di Indonesia dapat berjalan menuju pembangunan yang ramah ekonomi, sosial dan lingkungan sekaligus, maka regulasi yang berkenaan dengan pemerintah dan masyarakat sipil juga harus ditimbang dengan konsep yang sama.
Kolaborasi dan harmonisasi peraturan pemerintah dengan program-program CSR yang saling mendukung dan dalam koridor konsep “Pembangungan Berkelanjutan” akan melahirkan sinergi yang kuat bila dilaksanakan secara konsisten disertai dengan ketegasan law enforcement. Hasil dari sinergi tersebut berupa tumbuhnya modal sosial yang semakin kuat dari hari ke hari. CSR tidak akan memberikan arti yang optimal tanpa dukungan pemerintah secara nyata dan peran serta aktif dari masyarakat lokal. Peran serta aktif masyarakat notabene merupakan komponen dalam modal sosial yang sangat penting dan menjadi kunci suksesnya pelaksanaan program-program CSR.
Dengan demikian antara CSR dan modal sosial terdapat hubungan dua arah yang bersifat kausalitas dan saling mempengaruhi. Sedangkan pengaruh pemerintah yang antara lain dapat berupa peraturan/regulasi lebih bersifat sebagai katalisator yang berfungsi untuk mempercepat proses senyawa antara CSR dan modal sosial tersebut. Dalam prosesnya, sebenarnya juga terdapat akses pengaruh bagi perusahaan dan masyarakat dalam penyusunan regulasi berkaitan dengan CSR. Perusahaan sebagai agen pelaksana pembangunan berkelanjutan melalui program-program CSR dapat mempengaruhi penyusunan regulasi secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan masyarakat sebagai sumber modal sosial yang berkepentingan atas pelaksanaan program-program CSR juga dapat mempengaruhi penyusunan regulasi maupun menjalankan fungsi kontrol atas pelaksanaan regulasi tersebut.
Keterlibatan perusahaan dan masyarakat dalam mempengaruhi penyusunan regulasi dapat dilakukan melalui konsultasi publik. Konsultasi publik ini lebih bersifat dua arah, sehingga memungkinkan terjadinya dialog interaktif antara perusahaan, masyarakat dan pemerintah. Sebab konsultasi publik merupakan proses yang berbasiskan kesetaraan pemangku kepentingan dan bersifat dua –atau bahkan multi arah--, berbeda dengan sosialisasi yang timpang dan searah.
Sosialisasi merupakan bentuk komunikasi yang lebih bersifat satu arah, dan dilakukan setelah regulasi selesai dibuat dan ditetapkan berlakunya. Dalam sosialisasi pemerintah berharap para pemangku kepentingan memahami isi regulasi dan kemudian bersedia melaksanakan regulasi seperti yang dikehendaki pemerintah.
Sedangkan konsultasi publik dilakukan sebelum suatu regulasi disusun apalagi ditetapkan berlakunya. Dengan konsultasi publik, perusahaan dan masyarakat telah terlibat sejak awal mempengaruhi penyusunan regulasi. Keterlibatan sejak awal proses ini sangat penting karena nantinya bila regulasi telah berlaku akan berpengaruh terhadap kehidupan dan masa depan perusahaan maupun masyarakat. Pengaruh dan keterlibatan perusahaan serta masyarakat ini merupakan wujud atau realisasi komponen modal sosial yaitu tanggung jawab terhadap kepentingan publik. Konsultasi publik lebih menjamin lahirnya regulasi CSR yang realistis dan memenuhi harapan semua pemangku kepentingan karena setiap pihak yang terlibat mempengaruhi proses penyusunannya berada pada posisi yang setara satu sama lain. Dan pada akhirnya program CSR yang disusun serta dilaksanakan perusahaan akan lebih terarah secara efektif untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dengan adanya proses saling terlibat dan mempengaruhi tersebut, maka pada dasarnya pemerintah dan masyarakat juga bertanggung jawab terhadap berlangsungnya aktivitas CSR. Dengan kata lain, CSR bukan semata-mata tanggung jawab perusahaan saja. Perusahaan tidak mungkin dan tidak bisa dibiarkan begitu saja menjalankan program-program CSR meskipun inisiatif melaksanakan CSR tersebut datang dari perusahaan. Sebab dalam realitasnya di lapangan, implementasi program-program CSR tetap harus melibatkan pemerintah dan masyarakat setempat. Bagaimanapun dalam menjalankan aktivitas CSR-nya, perusahaan tetap menghadapi batas-batas kemampuan finansial dan sumber daya ekonomi lain.
Tanggung jawab tersebut harus ditekankan pemahamannya kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat tidak melupakan tanggung jawab hidupnya sendiri. Pada dasarnya masyarakat tetap bertanggung jawab atas kehidupannya masing-masing, kelestarian lingkungan dan alam tempatnya hidup, tanggung jawab sosial dan ekonomi, serta tanggung jawab sebagai warga negara. Di sini juga sangat perlu ditegaskan bahwa tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan hidup masyarakat tidak dapat dibebankan atau dipindahkan sepenuhnya kepada pundak perusahaan. Masyarakat tetap harus bertanggung jawab untuk meraih serta mewujudkan kesejahteraan individualnya dengan cara belajar dan berkerja keras. Sedangkan pemerintah juga tidak bisa memindahkan tanggung jawabnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat umum kepada perusahaan, dengan menyerahkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan sepenuhnya kepada perusahaan.
Penekanan dan penegasan ini perlu dipahami oleh masyarakat lokal dan pemerintah setempat agar CSR tidak berdampak pada terjadinya degradasi moral berupa kemalasan dan hilangnya rasa tanggung jawab hidup. Sebab CSR bukanlah aktivitas filantropi berdasar belas kasihan. CSR sama sekali tidak bertujuan untuk mendidik dan membiasakan masyarakat lokal hidup menjadi pemalas dengan menggantungkan hidupnya pada bantuan dan belas kasihan dari pihak lain. Sementara mereka pada saat yang sama tidak memiliki rasa tanggung jawab dan inisiatif sendiri untuk memperbaiki kehidupannya.
CSR bukan pula bermaksud mengambil alih tanggung jawab individu masyarakat terhadap pencapain taraf hidup yang lebih baik. Melalui CSR justru diharapkan masyarakat terdidik dan terpacu untuk dapat lebih giat bekerja dan rajin belajar untuk memperbaiki kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Dengan demikian CSR harus menghindari efek nina bobok yang memanjakan masyarakat dan pemerintah. Karena itu, CSR yang berdampak pada pengambilalihan tanggung jawab masyarakat dan pemerintah, sebenarnya merupakan tindakan pembodohan yang secara tidak langsung telah menjerumuskan masyarakat pada jurang kebodohan dan kemalasan.
Akibat dari CSR yang merupakan pembodohan ini adalah lemahnya modal sosial dalam masyarakat bersangkutan. Faktor-faktor pembentuk modal sosial berupa kohesifitas, gotong royong, partisipasi, saling percaya, kolaborasi sosial, serta tanggung jawab atas kepentingan publik akan terkikis sedikit demi sedikit tanpa disadari oleh masyarakat itu sendiri. Dampak negatif tersebut harus dapat dihindari, dan karenanya penerapan CSR yang salah kaprah menjadi pembodohan juga harus dicegah.
Harapan akhirnya adalah, masyarakat dapat menikmati taraf hidup yang lebih baik dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi sebagai buah nyata dari kerja keras dan ketekunan belajar mereka sendiri. Sementara program-program CSR yang dijalankan oleh perusahaan lebih merupakan suplemen tambahan untuk membantu masyarakat memperbaiki kehidupan sosial ekonomi serta menjaga kelestarian lingkungan dan alam.(Sumber: Jurnal Elcendikia Edisi 7 Vol.III No.1 Juni 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar